Jumat, 27 Maret 2009

Rakernas III FSPMI di Batam

BATAM, TRIBUN - Kian maraknya permasalahan antara pekerja/buruh dengan pengusaha membuat posisi pekerja kian terpuruk. Lihat saja rendahnya upah minimun yang diterima pekerja, belum lagi di era pasar bebas outsourcing yang cenderung digunakan oleh pengusaha dan beberapa pihak lain yang memanfaatkan celah hukum untuk mendapatkan keuntungan dari pekerja yang tergiur masuk dalam jebakan kontrak kerja model outsourcing.
Oleh karena itu, perlu adanya suatu perumusan sistem untuk dapat meningkatkan lagi kesejahteraan para pekerja.
Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Elektro Elektronik Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Ridwan Monoerfa saat menjadi pembicara di Rakernas III FSPMI yang berlangsung di PIH, Batam Centre, Rabu (25/3).
Menurutnya, kemajuan negara berangkat dari kemajuan kekuatan yang terjalin baik antara pekerja dan pengusaha.
“Kerjasama antara pemilik modal dan pengusaha yang baik akan berdampak signifikan bagi kemajuan suatu negara. Lihat saja Amerika, kemajuan negara itu di dapat karena antara pengusaha dan pekerja dapat bersinergi dengan baik. Artinya, keduanya dapat saling menyampaikan keluhan, sehingga segala bentuk permasalahan dapat terpecahkan,” jelas Ridwan yang juga Pimpinan Pusat FSPMI.
Apa yang menjadi keluhan dapat disampaikan buruh dan akan menjadi pertimbangan bagi pengusaha modal untuk segera di cari jalan keluarnya. Demikian sebaliknya, keinginan dan tujuan pengusaha juga dapat di penuhi oleh buruh.
Ketua Panitia Agus Wibowo menyampaikan, pelaksanaan Rakernas III FSPMI yang merupakan agenda tahunan ini, bertujuan untuk membina hubungan yang harmoni relation ship industri di era globalisasi. “Diharapkan dengan Rakernas ini, kran-kran komunikasi antara pengusaha dan buruh akan terbuka lebar,” ungkapnya.
Dikatakannya, dalam Rakernas ini, FSPIM akan mencari rumusan yang kongkrit dan positif untuk meluruskan komunikasi yang selama ini tidak pernah ada solusinya. “Permasalahan pada outsourcing yang tidak sesuai dengan Undang-undang. Lihat saja mereka yang bekerja sebagai cleaning service, satpam, driver. Tentu dari sistem yang dilakukan, para buruh selalu dirugikan,” jelas Agus.
Terlebih lagi Batam, sebagai kota pilot project yang merupakan salah satu lokomotif untuk menjadi contoh dan barometer bagi perusahaan manufacturing di Indonesia. “Jika hal-hal seperti ini terus terjadi, kesejahteraan buruh masih jauh dari semestinya. Bagaimana Batam akan dinilai oleh daerah lainnya,” terang pria yang menjabat Dewan Pengupahan Kepri dan juga Wakil Ketua Bidang PC SPEE FSPMI ini.
Sebenarnya, kata Agus dampak krisis yang terjadi tidaklah terlalu berpengaruh. Menurutnya, Indonesia memiliki market oriented yang jelas, karena penduduknya saja mencapai 250 juta jiwa. “Lihat saja jumlah penduduk kita, itu kan market yang jelas. Ekspor memang baik, tapi tujuan utama kita adalah market di negara sendiri dulu,” imbuh Agus.
Agus tidak menapik, beratnya tantangan di era globalisasi dan krisis yang melanda ini, memang menjadi bahan pemikiran bagi semua pihak. “Tak cukup hanya dari FSPMI saja, tetapi perlu adanya interfrensi pemerintah untuk memberikan stimulus untuk terus mensosialisasikan produk dalam negeri,” ujarnya.
Agus juga menyinggung peran pemerintah bagi kesejahteraan pekerja. Dikatakannya, memang permasalah ini acap kali dibicarakan, tetapi jika yang berbicara tidak berkompeten. Tentu solusi tidak akan tercapai. (hdr)
Yoedhi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar